ERA.id - Sebuah mutasi dari virus penyebab Coronavirus Disease (COVID-19) di Inggris disebut-sebut menjadi penyebab Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menerapkan pembatasan sosial paling ketat di London sejak Sabtu (19/12/2020), memaksa 4 juta warga Inggris membatalkan rencana liburan Natal mereka.
Memang, seberapa berbahayakah mutasi virus tersebut?
Kenapa mutasi COVID-19 di Inggris jadi perhatian?
Konsorsium COVID-19 Genomics UK (CoG-UK), yang ditugasi untuk mendata genetika virus SARS-CoV-2 untuk pemerintah Inggris, mengatakan bahwa varian virus korona baru ini penting karena 3 hal.
Pertama, varian virus terbaru ini dengan mudah mengungguli varian virus terdahulu. Kedua, mutasi genetik menyebabkan perubahan di area yang penting, yaitu area protein 'spike' yang menempelkan virus ini ke sel tubuh. Ketiga, berdasarkan pengamatan laboratorium, mutasi ini membuat penyakit COVID-19 lebih cepat dan mudah menular.
Varian ini, seperti diberitakan di BBC, pertama kali ditemukan di bulan September. Pada November, mutasi ini menyebabkan sepertiga total kasus COVID-19 yang ada di Kota London. Pada pertengahan Desember, ia sudah mengakibatkan dua-pertiga dari total kasus di kota yang sama.
Milton Keynes Lighthouse Laboratory telah membuat grafik persebaran varian virus COVID-19 baru, mereka menyebutnya varian H69/V70.
MK LHL testing data showing increasing prevalence of H69/V70 variant in positive test data - which is detected incidentally by the commonly used 3-gene PCR test. pic.twitter.com/1U0pVR9Bhs
— Tony Cox (@The_Soup_Dragon) December 19, 2020
Grafik tersebut memperkuat kalkulasi dari Dr. Erik Volz, seorang ilmuwan dari Imperial College London, yang pada Jumat mengatakan bahwa tingkat penularan varian virus ini 70 persen lebih kuat.
Namun, apakah para ilmuwan cukup yakin dengan kalkulasi mereka? Tidak terlalu. Volz sendiri menyebutkan bahwa ilmuwan masih "perlu mengawasi perkembangan varian ini". Seorang pakar virologi dari Universitas Nottingham, Prof Jonathan Ball, juga mengatakan bahwa peneliti masih memerlukan lebih banyak data.
"Data dari masyarakat masih terlalu sedikit untuk dibuat kesimpulannya. Masih belum bisa diketahui apakah virus ini benar-benar lebih mudah menular," kata Ball.
Mutasi COVID-19 sudah ditemukan di mana?
Varian ini sudah ditemukan di seantero wilayah Inggris kecuali di wilayah Irlandia Utara. Namun, konsentrasi terbesarnya ada di Kota London, kawasan Inggris tenggara dan timur.
Data dari organisasi Nextstrain, yang telah mengamati genetika sampel virus korona baru yang ada di dunia, meyakini bahwa varian Inggris ini sudah ditemukan juga di Denmark dan Australia. Belanda juga sudah mengabarkan penemuan pasien yang terinfeksi varian virus ini.
For the UK variant:
Outside of the UK, we see very small numbers of sequences in Denmark (a bit hard to see - hidden behind UK circle) & Australia. Their position on the tree indicates that they're likely exports from the UK.
6/Nhttps://t.co/20xkiUxAUV pic.twitter.com/1fRboTpWlL
— Dr Emma Hodcroft (@firefoxx66) December 19, 2020
Yang perlu diketahui adalah ini bukan mutasi pertama dari virus SARS-CoV-2.
Virus yang saat ini beredar, di Indonesia dan bukan lagi virus yang menginfeksi pasien di Wuhan, China.
Mutasi dengan kode D614G juga telah beredar di Eropa sejak Februari lalu, dan kini menjadi varian yang paling dominan di dunia.
Apakah lebih mematikan?
Belum ada data yang membuktikan hal ini, namun, ilmuwan terus melakukan pengawasan. Namun, tingkat penularan yang tinggi saja sudah akan membuat rumah sakit kewalahan karena akan terjadi gelombang pasien korona dalam jumlah besar.
Masih mempan oleh vaksin?
Sejauh ini masih bisa.
Vaksin COVID-19 yang saat ini sudah beredar luas, seperti Pfizer/BioNTech dan Moderna, didesain agar tubuh orang yang disuntikkan akan memiliki kekebalan tubuh terhadap protein spike virus SARS-CoV-2.
Namun, para ilmuwan tidak menutup kemungkinan bahwa virus korona baru ini suatu saat akan mengakumulasi sejumlah mutasi yang membuatnya bisa 'lolos' dari dampak vaksinasi. Kemampuan adaptasi ini yang mungkin akan menjadi perhatian para peneliti.
Bila hal itu terjadi, maka fenomena COVID-19 akan menjadi seperti penyakit flu, di mana vaksinnya harus diperbarui setiap tahun.